Golongan Putih Bukan Solusi

Kamis (14/02) pagi, RRI (Radio Republik Indonesia) Palu bertempat di Aula FISIP Untad, adakan Dialog Pemilu.

RRI (Radio Republik Indonesia) Palu Sulawesi Tengah adakan siaran luar studio di Aula FISIP Untad, Kamis (14/02) pagi. Mengangkat Topik Dialog Pemilu dengan tema “Gerakan Cerdas Memilih, Memilih itu Juara, Golput Buka Solusi”, RRI bekerjasama dengan KPU dan FISIP Untad untuk menyosialisasikan pemilu 2019. Dalam kesempatan tersebut, selain Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tengah sebagai pembicara, turut pula hadir Ketua Senat FISIP Untad mewakili Dekan, dan Wakil Ketua BEM FISIP Untad mewakili Ketua BEM FISIP Untad. Kegiatan ini dihadiri oleh para mahasiswa dan dosen lima program studi yang ada di FISIP Untad, yakni Ilmu Administrasi Publik, Sosiologi, Antropologi, Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Komunikasi. Seperti temanya, Dialog Pemilu yang diselenggarakan oleh RRI ini menitik beratkan pada himbauan untuk memilih dengan bijak, bukan memilih golput.

Golput atau Golongan Putih sendiri bukanlah hal yang asing di telinga kita, terutama ketika jelang pemilu. Istilah ini merupakan istilah politik yang bermula dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda pada pelaksanaan Pemilu 1971 yang kala itu merupakan pemilu pertama di Indonesia, tepatnya di Era Orde Baru. Arif Budiman dianggap sebagai tokoh yang memimpin gerakan ini. Namun, istilah “Golput” sendiri dicetuskan oleh Imam Waluyo. Istilah “putih” dipakai karena pada awalnya, gerakan ini mengisyaratkan kepada yang datang ke bilik suara agar mencoblos bagian putih di surat suara yang berada di luar gambar parpol peserta Pemilu. Karena, kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai.

Di era reformasi hingga saat ini, gerakan golput pun masih sering dijumpai saat pemilu terutama dari kalangan mahasiswa. Alasannya sama, bahwa tidak ada pilihan yang dianggap memenuhi syarat ideal seorang pemimpin. Walau suara saat pemilu bersifat hak, bukan kewajiban, yang artinya golput bukanlah pelanggaran, namun alangkah baiknya jika mahasiswa sebagai agen of change mampu menimbang yang terbaik diantara pilihan yang ada, ketimbang melepaskan hak suara begitu saja. Karena pemilu pada dasarnya adalah kesempatan bagi seluruh masyarakat tidak terkecuali kalangan akademisi untuk memberikan hak suaranya dalam rangka menentukan nasib bangsa dalam lima tahun kedepan.

Scroll to top